<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d25231864\x26blogName\x3dTLUP+12+Lifestyle\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://tlup12lifestyle.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://tlup12lifestyle.blogspot.com/\x26vt\x3d-6088125421167239571', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>


Thursday, April 06, 2006
Pacaran Jarak Jauh, Mungkin Enggak Sih...

"KITA-kita yang sekarang kelas III SMA maupun SMP sebentar lagi akan lulus-lulusan. Kita yang sudah punya pacar mungkin enggak satu sekolah lagi, bahkan akan tinggal di kota yang berbeda. Bisa enggak sih kita pacaran jarak jauh?"


SAYANGKU lulus SMA ini bokapku di-tugasin ke Inggris. Jadi, aku akan sekolah di sana…."

"Hah? Terus… kita gimana?"

"Aku masih sayang dan masih pengin sama kamu…."

"Aku juga!"

"Jadi… kita pacaran jarak jauh?"

"Kamu yakin kita bisa pacaran jarak jauh?"

Kapan, sih, sebuah hubungan disebut pacaran jarak jauh (PJJ)? Menurut ensiklopedia online Wikipedia, suatu hubungan disebut PJJ ketika pasangan tersebut berada di daerah yang berbeda dan berjauhan. Misal, kita di Jakarta, sementara pacar di Bandung. Tapi, sekarang banyak juga yang bilang ketika kita dan pacar berada di sebuah daerah sama tetapi jarang ketemu, maka itu bisa disebut "pacaran jarak jauh!" Yah, itu terserah kita, sih. Tapi di sini kita akan memfokuskan pada PJJ berdasarkan faktor geografis.

Sudah bukan rahasia lagi kalau melakukan PJJ itu susaaaah banget! Bayangkan, kita yang lagi cinta-cintanya sama pacar mesti tahan enggak ketemuan sampai berbulan-bulan! Psikolog Dra Winarini Wilman Dahlan PhD pun mengakui, "Kemungkinan keberhasilan PJJ pada remaja lebih kecil dibandingkan dengan orang dewasa. Sebab, remaja masih dalam taraf mencoba-coba."

Harus diakui, di usia kita yang masih muda ini, kita memang lagi senang-senangnya ketemu sama orang baru dan mencari tahu tipe pasangan yang cocok. Selain itu, "Pengalaman remaja dalam menghadapi konflik itu masih terbatas. Jadi kalau berjauhan, enggak bisa segera menyelesaikan masalah," ujar psikolog yang sering dipanggil Bu Wina.

Ini juga disetujui oleh Moudy, cewek kelas III SMA yang pernah PJJ dengan cowok yang kuliah di Australia. "Aku orangnya enggak tahan PJJ. Aku pengin kalau punya pacar, dia itu ada di sampingku. Terus godaannya itu, lho, banyak banget," ujar cewek berambut panjang ini. Akhirnya, hubungan Moudy dan pacarnya pun cuma bertahan 2,5 bulan dan ia mengaku kapok PJJ lagi.

Godaan sering datang gara-gara kita kehilangan teman sharing yang selalu ada di samping kita. "Akhirnya kita mencari orang yang ada di dekat kita. Lalu, masuklah pihak ketiga," kata Bu Wina yang pernah merasakan PJJ semasa pacaran.

Godaan itu emang susah banget buat ditolak. Misal, hari ini lagi suntuk gara-gara ulangan dapat nilai jelek, guru marah-marah, dan di rumah bokap-nyokap juga marah-marah terus. Rasanya enak banget kalau ketemu pacar dan dia menenangkan kita. Tapi, berhubung pacar jauh, kita cuma bisa menelepon. Di saat yang sama ada orang lain yang sering kasih perhatian. Jadilah cinta bersemi dengan orang lain.

Putra, yang masih duduk di kelas I SMU 78 Jakarta, juga merasakan susahnya PJJ. "Jadi kangen. Pengin berduaan, pengin ketemu dan saling share. Tapi susaaah," ujar cowok yang pernah pacaran sama cewek yang harus pindah ke Surabaya ini. Ujungnya, pacar Putra memutuskan hubungan setelah baru dua bulan pindah ke sana. "Dia yang mutusin karena enggak kuat," curhat Putra.

Bantuan teknologi

Pro-kontra masalah PJJ sudah biasa terjadi. Ada sebagian orang yang lebih baik putus daripada PJJ. Sementara ada juga yang berpandangan PJJ tetap bisa dilakukan. Dalam kasus Putra, walaupun hubungan PJJ-nya kandas, dia tetap mau PJJ lagi. "Kenapa enggak? Sekarang teknologi sudah maju, bisa telepon, e-mail, dan lain-lain. Jadi bisalaah. Asal keduanya buat kesepakatan," tandas Putra.

Vanie, cewek kelas III SMU Ora et Labora, juga pernah PJJ karena pacarnya mesti pindah ke Osaka, Jepang. Sebelum PJJ, hubungan mereka baru berjalan sebulan. Dan Vanie berhasil menjalani PJJ selama sembilan bulan dengan pacarnya. "Kami enggak pernah punya problem soal jarak. Soalnya tiap malam pasti chat di MSN Messenger atau telepon," ujar Vanie. Kalaupun enggak ketemu, Vanie tetap merasa dekat secara fisik sama pacarnya dulu, "Kan, bisa pakai webcam. Jadi kayak ketemuan," jawab Vanie sambil tersenyum.

Hubungan mereka berjalan langgeng hingga sepuluh bulan dan justru putus ketika pacarnya sedang datang ke Jakarta. "Masalahnya bukan karena jarak. Tapi dia CLBK (cinta lama bersemi kembali) gara-gara ketemu lagi sama mantannya di sini," kata Vanie enteng. Karena merasa enggak bermasalah soal jarak, Vanie jadi enggak kapok buat PJJ lagi. "Enggak apa-apa, kok. Asal ada komitmen buat tetap berkomunikasi," ujarnya lagi.

Banyak masalah

Pacaran adalah masa kita saling mengenal pasangan dan menyesuaikan diri. Salah satu kerugian paling dirasakan dari PJJ adalah, "Long distance relationship membatasi kesempatan untuk ketemu. Akhirnya penyesuaian jadi kurang maksimal," kata Bu Wina. Ada beberapa sisi yang tidak bisa kita gali lebih lanjut ketika kita harus berpisah jarak sama pacar. Seperti, kebiasaannya kalau lagi makan, ekspresi wajahnya saat menerima kejutan dari kita.

Memang, sih, teknologi sudah maju, tetapi komunikasi tetap berjalan beda. "Kalau ketemu langsung, kan, ada human touch-nya. Bisa melihat ekspresinya langsung dan kehadiran fisik itu penting," kata Bu Wina lagi. Kerugian lain dari PJJ adalah banyaknya biaya yang mesti dikeluarkan demi komunikasi. Biaya internet plus biaya telepon pastinya akan membengkak. "Aku dulu rutin beli kartu telepon. Kami teleponan paling sepuluh menit selama beberapa hari sekali. Kalau lebih dari itu, mahal, dong!" kata Vanie.

Menurut M Attridge dalam bukunya berjudul Barriers Dissolutions of Romantic Relationship (1994), pasangan long distance itu punya barrier deprivation alias penghalang untuk merasa puas dalam hubungannya. Sebab, pasangan ini kesulitan punya "jaringan pengaman" dibandingkan dengan pasangan yang saling berdekatan. Contoh, ketika PJJ, kita enggak gampang buat ngobrol tiap hari dan dunia kita serta pacar berbeda. Belum lagi rasa waswas karena kita enggak tahu pasti apa yang sedang dilakukan pacar. Duuuh… repot, ya….

Lebih sabar

Tetapi, bukan berarti PJJ itu completely merugikan. PJJ memberikan pengaruh positif buat mereka yang berani menjalankannya. "(PJJ) Melatih kesabaran. Remaja jadi lebih dewasa dan mampu mengontrol diri," kata Bu Wina.
Ini diakui pula oleh Vanie. "Aku belajar sabar dan lebih percaya sama orang." Unsur negative thinking dan membayangkan hal-hal buruk pada pacar juga semakin berkurang. "Asal kami ngomong saja kalau ada apa-apa. Aku dan mantanku dulu bikin komitmen, mau sesakit apa pun mending jujur," ujar Vanie.

Sebuah penelitian dilakukan Sara Mietzner dan Lin Li-Wen (2005) berjudul Would You Do It Again? Relationship Skills Gained in A Long-distance Relationship untuk mencari tahu pengaruh positif dari PJJ. Hasilnya kebanyakan responden merasakan bertambah sabar, mandiri, lebih percaya, dan komunikasinya bertambah baik.

Ada juga sebuah penelitian yang dilakukan Arditti JA dan Kauffman M pada tahun 2003. Hasil penelitian yang diberi judul Staying Close When Apart: Intimacy and Meaning in Long-distance Relationships, itu membuktikan bahwa orang yang PJJ cenderung menganggap pasangannya penting dan mengembangkan hubungan yang lebih kuat pada komunikasi nonfisik. Riset lain yang dilakukan Holt dan Stone pada tahun 1988 juga membuktikan PJJ enggak selalu menimbulkan masalah. Malah menurut riset Gulder dan Swensen (1995) yang berjudul Time Spent Together and Relationship Quality: Long-distance Relationships as A Test Case, mereka yang terlibat PJJ menunjukkan kepuasan, keintiman, serta rasa percaya dan komitmen yang nyaris sama dengan mereka yang enggak PJJ.

Terserah kita

Keputusan buat PJJ akhirnya berpulang pada diri kita lagi. Kalau kita ternyata enggak siap, ya mending enggak usah. "Jujur sama diri sendiri. Jalani yang sesuai dengan kemampuan dan kemauan," saran Bu Wina. Rada sedih, sih, karena kita, kan, masih sayang sama pacar. Tapi lebih baik berteman saja, kan, daripada maksa pacaran lalu akhirnya berantakan? "Toh kalau berteman baik, kita jadi enggak terlalu terbebani mikirin dia."

Lain lagi kalau kita memang bertekad buat PJJ. Di sini kita mesti sadar, "Orientasi remaja harus jauh ke depan dan bukan here and now. Sekarang long distance relationship itu buat apa?" terang Bu Wina. Misal, pacar pindah kota demi meneruskan sekolahnya. Berarti kita berpikir bahwa itu untuk kemajuan dia yang harus didukung. Anggap bahwa perpisahan sekarang adalah investasi buat masa depan. Dan ini pula yang harus disadari sama pacar kita supaya punya satu tujuan.

Jadi, mau pilih yang mana, PJJ atau putus?
 
posted by tlup12 at 9:40 AM | Permalink |


0 Comments: